Lembaga Kajian Nagara Institute menyebut, ancaman krisis pangan telah menyelimuti dunia dalam beberapa dekade terakhir, tak terkecuali Indonesia. Pemerintah dinilai perlu segera melakukan pembenahan dalam sistem pangan RI lewat sejumlah langkah.

Disebutkan, ada fakta situasi pangan global sedang tidak baik-baik saja. Ancaman krisis pangan tersebut salah satunya tergambar dari populasi manusia yang terus meningkat signifikan, sementara volume produksi pangan penuh dengan ketidakpastian.

"Di dalam negeri, Indonesia juga menghadapi permasalahan pangan yang cukup pelik. Jumlah penduduk juga terus meningkat signifikan, dan pada 2045 diperkirakan mencapai 319 juta jiwa," kata lembaga kajian tersebut dalam keterangan tertulisnya, dikutip Kamis (16/03/2023).

"Pada  saat yang sama, terus terjadi alih fungsi lahan pertanian secara masif. Lahan yang tersisa pun kualitasnya terus mengalami penurunan. Sehingga, defisit pangan dalam negeri bukan hal yang mustahil bisa terjadi," lanjutnya.

Tidak hanya itu, masalah lainnya yaitu kerap terjadi instabilitas dan disparitas antara pasokan dan harga pangan baik antar-wilayah maupun antar-waktu. Situasi tersebut tidak hanya merugikan petani di tingkat hulu, tapi juga memberatkan konsumen di tingkat hilir.

Oleh sebab itu, Nagara Institute meminta Pemerintah untuk membenahi sistem pangan RI yang hingga kini masih menuai banyak permasalahan. Salah satu yang perlu mendapat perhatian lebih ialah dari aspek kelembagaannya, menyangkut tata kelola pangan.

"Tata kelola pangan kita masih lemah terutama pada koordinasi pengelolaan pangan lintas sektor dan antar-lembaga pemerintah, manajemen data pangan yang dapat diandalkan untuk basis kebijakan, manajemen pengelolaan cadangan pangan, dan posisi petani," katanya.

Oleh karena itu, pemerintah perlu memperkuat lembaga-lembaga yang bersinggungan langsung dengan tata kelola pangan, seperti Bapanas dan Bulog. Misalnya untuk Bapanas, perlu diberi wewenang dalam hal penyerapan hasil panen, mekanisme pembentukan harga, dan persetujuan importasi.

"Sementara untuk Bulog sendiri butuh ruang fleksibilitas dalam menetapkan harga beli dan skema pembayaran pada petani. Produk Bulog pun juga harus dilibatkan dalam program sosial pemerintah," lanjutnya.

Nagara juga mencatat, pemerintah perlu memperkuat posisi petani, salah satunya dengan mendukung penguatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai agregator petani, mendukung pengembangan jasa produksi pertanian.

Selain masalah kelembagaan, pemerintah juga perlu meningkatkan kualitas SDM dan teknologi di sektor pertanian. Sementara untuk peningkatan produktivitas sektor pertanian, pemerintah juga perlu membenahi masalah pupuk, ketersediaan lahan, dan sistem irigasi.

"Dalam jangka panjang, harus ada pembangunan/investasi pada fasilitas produksi bahan baku pupuk. Selain itu, harus ada perbaikan sistem subsidi pupuk dan jaminan ketersediaan variasi kombinasi pupuk untuk kesesuaian dengan kondisi geografis setiap daerah," lanjutnya.

Infrastruktur transportasi dan ekosistem logistik pangan juga ikut mendapat sorotan. Perlu adanya peningkatan akses jalan yang menghubungkan sentra produksi pangan dengan simpul transportasi. Pemerintah juga bisa memberikan subsidi untuk pengembangan angkutan pangan seperti tol laut dan meningkatkan peran BUMN bidang transportasi.

Tidak hanya itu, masalah tata niaga produk pangan nasional juga perlu mendapatkan perhatian. Nagara Institute menyarankan, pemerintah harus menjamin mekanisme terminasi pembayaran dari Bulog yang tidak memberatkan petani.

Selain itu, HPP yang ditetapkan pemerintah harus di atas biaya riil produksi pertanian. Untuk menyerap produksi pertanian, pemerintah juga harus meningkatkan kapasitas cadangan pemerintah mencapai 10% atau minimal untuk kebutuhan 3 bulan konsumsi nasional.

"Diharapkan, dengan pembenahan sistem tata kelola pangan ini, pemerintah telah siap dengan strategi untuk menjamin kedaulatan pangan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang Indonesia bisa terhindar dari ancaman krisis pangan," pungkasnya.