Eks Direktur Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama menyayangkan kegaduhan terkait beda layanan kesehatan di Indonesia dan luar negeri. 

Seperti diketahui, kegaduhan tersebut berawal dari cuitan pesohor Kiky Saputri yang curhat tentang mertuanya yang hanya didiagnosis flu di Singapura, sementara sebelumnya disebut terkena 'stroke kuping' saat diperiksa tenaga medis Indonesia.

Tjandra Yoga, mengatakan, di satu sisi dokter Indonesia dianggap tak mumpuni. Sementara di sisi lain, istilah 'stroke kuping' sebenarnya umum dipakai, bahkan dalam dunia medis internasional.

"Di-google saja kan ada penjelasan 'ear stroke also known as sudden sensorineural hearing loss', tanpa bermaksud berpolemik, tetapi informasi yang beredar memang perlu dianalisa benar atau tidaknya," sebut Prof Tjandra dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Senin (13/03/2023).

Sejak cuitan Kiky viral, tidak sedikit publik yang kemudian menceritakan pengalaman pribadi mereka saat berobat ke luar negeri. Beberapa orang merasa layanan di fasilitas kesehatan Indonesia jauh tertinggal dari luar negeri, termasuk dari cepatnya ditangani, kejelasan informasi, hingga lebih murah.

Soal harga, Prof Tjandra mengaku beberapa pengobatan dan pelayanan di luar negeri memang relatif lebih murah. Meski tidak memiliki angka pasti terkait perbandingannya, salah satu yang bisa dilihat secara signifikan adalah harga alat kedokteran.

"Itu lebih mahal di Indonesia daripada di sebagian negara tetangga," terang dia.

"Pengalaman pribadi misalnya, teman-teman dokter yang datang atau belajar ke India waktu saya bekerja di WHO dan berdomisili di New Delhi maka banyak yang pulang membawa berbagai alat kesehatan yang memang lebih murah harganya," lanjutnya.

Seperti di India, harga obat-obatan di sana juga jauh lebih terjangkau. Namun, lain halnya dengan kemampuan tenaga dokter di Indonesia, Prof Tjandra memastikan dokter dan pakar di Indonesia kualitasnya tak kalah dengan berbagai anggota organisasi internasional kesehatan dan kedokteran dunia.

"Tentu ada variasi dalam tenaga kesehatan di negera kita antara tempat satu dan lainnya, hanya saja secara umum sebenarnya pelayanan kesehatan terus membaik dari waktu ke waktu," tutur dia.

"Itu lebih mahal di Indonesia daripada di sebagian negara tetangga," terang dia.

"Pengalaman pribadi misalnya, teman-teman dokter yang datang atau belajar ke India waktu saya bekerja di WHO dan berdomisili di New Delhi maka banyak yang pulang membawa berbagai alat kesehatan yang memang lebih murah harganya," lanjutnya.

Seperti di India, harga obat-obatan di sana juga jauh lebih terjangkau. Namun, lain halnya dengan kemampuan tenaga dokter di Indonesia, Prof Tjandra memastikan dokter dan pakar di Indonesia kualitasnya tak kalah dengan berbagai anggota organisasi internasional kesehatan dan kedokteran dunia.

"Tentu ada variasi dalam tenaga kesehatan di negera kita antara tempat satu dan lainnya, hanya saja secara umum sebenarnya pelayanan kesehatan terus membaik dari waktu ke waktu," tutur dia.

Sementara polemik lain yang sering dikeluhkan yakni kecepatan penanganan pasien, memang masih menjadi 'PR' bagi Indonesia. Pasalnya, Prof Tjandra menekankan pemerintah perlu manajemen yang baik untuk memiliki 'service' yang sama dengan banyak layanan di luar negeri.

"Termasuk keramahan pelayanan serta penerapan prinsip dasar hospitality yang baik."

Ia berharap pemerintah segera memperbaiki sejumlah hal, utamanya harga alat kesehatan dan obat-obatan yang jelas harus lebih murah dari saat ini. Tidak hanya itu, kebijakan yang dibuat haruslah menjaga kesejahteraan pasien juga tenaga kesehatan dokter hingga perawat.