Sejumlah negara seperti China, Korsel, Jepang, hingga Thailand tengah berjibaku menghadapi fenomena resesi seks. Sebagai informasi, resesi seks bisa terjadi karena gaya hidup hingga tuntutan pekerjaan yang membuat seseorang enggan berhubungan seks. Akibatnya, tingkat kelahiran pun merosot.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, Indonesia tidak mengalami resesi seks. Hal itu tercermin dari angka total fertility rate atau rata-rata jumlah anak yang dilahirkan oleh perempuan Indonesia selama masa reproduksi, tumbuh 2,1 persen.
Bahkan jumlah pernikahan di Indonesia juga cukup besar, mencapai 2 juta per tahun dengan angka kehamilan mencapai 4,8 juta jiwa.
"Artinya Indonesia tidak ada resesi seks. Masih tumbuh 2,1 persen, ini masih bagus," ujar Jokowi ketika membuka Rapat Kerja Nasional (Rakornas) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKB), dikutip Jumat (27/01/2023).
Sebelumnya, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengungkap, resesi seks bisa saja terjadi di Indonesia meski prosesnya tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Dikatakan Hasto, saat ini masyarakat Indonesia masih banyak yang melangsungkan pernikahan.
"Potensi (resesi seks) itu ada. Ada ya, tapi sangat panjang, karena kan usia pernikahan semakin lama semakin meningkat. (Ini bicara) pernikahan lho bukan seks," jelas Hasto.
Mundurnya usia pernikahan, kata Hasto biasanya terjadi karena salah satu pasangan ingin terlebih dahulu menempuh studi, karier, dan sebagainya. Di Indonesia, kata Hasto memang cukup banyak yang telah menunda memiliki anak dan menikah, terutama masyarakat di kota-kota besar.
Misalnya wanita, saat ini lebih mementingkan kesejahteraan dan kualitas hidup bersama pasangannya. Sementara pria yang memilih tidak memiliki anak, biasanya hanya mementingkan kebutuhan menyalurkan gairah seksual dalam hubungan pernikahan.
Tentunya jika hal ini terus terjadi dan makin banyak, bukan tidak mungkin resesi seks bisa terjadi di Indonesia.
"Jadi bisa saja terjadi minus growth atau zero growth sekarang ini kan beberapa daerah sudah minus growth, zero growth seperti beberapa kabupaten di Jawa Timur, Jawa Tengah minus growth jumlah anaknya sedikit," katanya dia.
Resesi Seks di Banyak Negara
Terkait fenomena ini, sejumlah negara di kawasan Asia mulai terjangkit kasus 'resesi seks'. Adanya resesi seks membuat pertumbuhan populasi jiwa jadi terhambat. Pada akhirnya, resesi seks bisa berimbas pada penurunan populasi suatu negara.
Dalam laporan The Guardian, ada beberapa faktor yang berkembang di kalangan wanita muda pekerja, untuk menikmati kebebasan dengan menjadi lajang dan berkarir. Pria juga mengalami hal serupa, mereka menikmati menjadi lajang. Namun, juga menyuarakan keprihatinan atas keamanan pekerjaan dan kemampuan mereka untuk menafkahi keluarga.
Istilah resesi seks (sex recession) kali pertama dicetuskan Kate Julian, peneliti dan penulis, pada 2018 untuk tulisannya di The Atlantic.
Resesi seks merujuk pada fenomena hubungan seks yang kian surut. Ia mengutip penelitian dari Jean M. Twenge, profesor psikologi di San Diego State University, yang mengeksplorasi kehidupan seksual warga Amerika.
Salah satu ancaman yang disertai dari fenomena resesi seks adalah penurunan tingkat kesuburan dan angka kelahiran di suatu negara. Momok 'resesi seks' kini mulai mengancam di sejumlah negara, khususnya di negara-negara di Asia. Seperti Korea Selatan, China, Jepang, dan Thailand.
Resesi seks saat ini telah menjangkiti Korea Selatan dan China. Berikut cerita resesi seks yang terjadi di Korea Selatan dan China, dilansir dari berbagai sumber:
Resesi Seks di Korea Selatan
Foto: Ilustrasi oleh VectorStock
Korea Selatan (Korsel) saat ini sedang dihantui dengan 'resesi seks' karena warganya menolak untuk memiliki keturunan. Mengutip AP News, berdasarkan data pemerintah Korsel, Negeri Ginseng ini hanya mencatat tingkat kesuburan 0,81% pada 2021. Idealnya, satu negara harus memiliki tingkat kesuburan 2,1% untuk menjaga populasi.
Tak hanya enggan menikah, warga Korsel yang sudah berumah tangga enggan memiliki keturunan atau hamil. Hal ini dialami oleh Yoo Yeung Yi (30). Neneknya punya enam anak. Ia sendiri dua bersaudara. Namun, Yoo memutuskan tidak akan memiliki anak.
"Suami saya dan saya sangat menyukai bayi... tetapi ada hal-hal yang harus kami korbankan jika kami membesarkan anak-anak," kata Yoo kepada AP News.
Ada banyak orang seperti Yoo di Korea Selatan yang memilih untuk tidak punya anak atau tidak menikah. Negara maju lainnya memiliki tren serupa, tetapi krisis demografi Korsel jauh lebih buruk.
Tidak ada angka resmi berapa banyak warga Korsel yang memilih untuk tidak menikah atau memiliki anak. Namun catatan dari badan statistik nasional menunjukkan ada sekitar 193 ribu pernikahan di Korsel tahun lalu, turun dari puncaknya 430 ribu pada tahun 1996.
Data badan tersebut juga menunjukkan sekitar 260.600 bayi lahir di Korsel tahun lalu, sementara puncak kelahiran di negara tersebut mencapai 1 juta pada tahun 1971.
Resesi Seks di China
Foto: Ilustrasi oleh Unplash
China dilaporkan tengah mengalami resesi seks, karena dalam satu dekade terakhir angka kelahiran turun ke tingkat terendah sejak tahun 1960-an. Saat ini angka kelahiran di di China pada 2020 lalu merupakan terendah dalam 43 tahun terakhir.
Dalam pemberitaan media resmi China, Global Times, Biro Statistik Nasional China mengumumkan tingkat kelahiran pada tahun 2020 tercatat 8,52 per 1.000 orang. Selain itu, badan resmi pemerintah itu mencatat bahwa tingkat pertumbuhan alami populasi menyumbang 1,45 per 1.000, nilai terendah dalam 43 tahun.
Mengutip The Strait Times yang melansir Bloomberg, tak ada alasan langsung mengapa angka kelahiran turun.
Namun, angka-angka baru mengkonfirmasi pertumbuhan populasi di ekonomi nomor dua dunia itu melambat secara dramatis, bahkan diperkirakan akan semakin turun, sebagaimana ditegaskan sejumlah pejabat sejak Juli 2021.
Sementara itu, beberapa pakar demografi menyebut bahwa hal ini diakibatkan oleh rendahnya wanita yang menginginkan kehamilan.
Pada Oktober lalu, Liga Pemuda Komunis China mengeluarkan publikasi yang mencatat hampir setengah atau 50% dari wanita muda yang tinggal di perkotaan negeri itu enggan menikah.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan keengganan untuk menikah ini. Mulai dari tak punya waktu hingga biaya keuangan pernikahan dan beban ekonomi memiliki anak.
"Mereka yang disurvei mengatakan tidak punya waktu atau energi untuk menikah," kata laporan tersebut.
Sepertiga responden juga mengatakan mereka tidak percaya pada pernikahan. Bahkan dalam persentase yang sama, mereka juga mengatakan tidak pernah jatuh cinta. Dari seluruh alasan itu, ada juga satu alasan terkait kultur bekerja 9-9-6. Budaya ini adalah posisi bekerja di mana warga bekerja 9 pagi sampai 9 malam, enam hari seminggu.
Setelah Korea Selatan dan China, resesi seks juga menghantui Jepang dan negara tetangga terdekat Indonesia, Thailand. Berikut penjelasannya yang diambil dari berbagai sumber
Resesi Seks di Jepang
Foto: Ilustrasi oleh Getty Images/iStockPhoto
Jepang, menjadi salah satu negara dengan yang paling hebat dihantam fenomena resesi seks . Dalam sebuah laporan resmi terbaru, angka pria dan wanita di Jepang yang tidak ingin menikah telah memecahkan rekor terbaru pada tahun 2021.
Dalam rilis terbaru Institut Nasional Kependudukan dan Jaminan Sosial, ditemukan bahwa 17,3% pria dan 14,6% wanita berusia antara 18 dan 34 tahun di Jepang mengatakan mereka tidak berniat untuk menikah. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak kuesioner pertama kali dilakukan pada tahun 1982.
Penurunan jumlah pernikahan memiliki konsekuensi terhadap tingkat kelahiran Jepang. Diketahui, negara itu telah mengalami pertumbuhan penduduk yang negatif sehingga mengancam perekonomiannya di masa depan.
"Pemerintah Jepang telah bekerja untuk meningkatkan angka kelahiran dengan mencoba membantu mereka yang ingin menikah atau memiliki anak untuk memenuhi aspirasi mereka," kata seorang profesor sosiologi di Universitas Chukyo, Shigeki Matsuda, kepada surat kabar Mainichi Shimbun, dikutip Kamis, (15/9/2022).
"Tetapi jika jumlah orang yang tidak ingin menikah terus meningkat, pemerintah akan dipaksa untuk meninjau kembali kebijakannya, dan itu dapat menyebabkan penurunan kesuburan lebih lanjut."
Resesi Seks di Thailand
Foto: Ilustrasi oleh NeoPhoto/Getty Images/iStockPhoto
Tingkat kesuburan dan jumlah kelahiran dilaporkan terus menyusut di Thailand saat populasi yang ada semakin menua. Dalam Konferensi Keluarga Berencana di Pattaya pada awal November 2022 silam, tren demografis Thailand menyusut drastis jika dibandingkan era 1960 dan 1970-an. Saat itu, rata-rata keluarga memiliki sampai tujuh anak sehingga tingkat kelahiran 6.1.
Pada 2020, angka kelahiran menyusut menjadi 1.24, lebih rendah dari tingkat peremajaan populasi yang sebesar 1.6, dikutip The Straits Times. Tahun lalu, Thailand juga mencatat 544.000 kelahiran, terendah selama enam dekade. Pemerintah pun mendorong lebih banyak pasangan untuk memiliki bayi.
Pemerintah bahkan ikut melibatkan influencer dan tokoh publik untuk membantu kampanye mendorong warga agar mau memiliki lebih banyak anak. Promosi di media sosial ditujukan bagi pasangan muda agar tidak memilih childfree atau tidak mempunyai anak.
"Tetapi rencana itu tidak berjalan. Tidak semua orang dapat memahami maksud dan tujuan program tersebut," kata Direktur Biro Kesehatan Reproduksi Thailand, Bunyarit Sukrat, dikutip The Straits Times, Sabtu (28/01/2023).