Rancangan Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau RUU P2SK kembali menjadi sorotan. Soalnyax masih menghilangkan pasal 47 C Undang-undang tentang Bank Indonesia (BI). 

Artinya, melalui omnibus law sektor keuangan ini, jajaran dewan gubernur BI tak lagi diharamkan diisi oleh pengurus dan atau anggota partai politik.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia (Core) Mohammad Faisal menilai, penghapusan ketentuan itu akan berimplikasi buruk pada stabilitas moneter dan ekonomi di Tanah Air nantinya. 

Sebab, BI sebagai otoritas moneter tidak lagi bisa independen menjalankan mandatnya menjaga makro ekonomi nasional.

"Jelas implikasinya akan sangat sangat buruk. Karena artinya independensi bank sentral itu sudah bisa diintervensi secara politik," kata Faisal saat dihubungi, dikutip Senin, 24 Oktober 2022.

Sekalipun anggota dewan gubernur nantinya yang berpolitik itu memiliki kompentensi yang sangat baik secara teknis, Faisal menganggap, politikus akan sangat sulit independen dalam menjalankan tugas-tugasnya. Sebab, secara individu, dia dia akan sangat tergantung pada ketentuan-ketentuan dan kepentingan partainya sendiri.

"Bagaimanapun, ada kepentingan politiknya karena berasal dari partai politik, harus patuh terhadap partai. Ini yang berbahaya," ujar Faisal.

"Padahal sebagai bank sentral harus independen dari segala kepentingan, baik politik maupun interest pribadi."

Faisal mengingatkan, ada sejarah kelam yang masih tercatat hingga ini bagaimana buruknya kondisi perekonomian bangsa saat BI tidak lagi independen. Kondisi ini dapat ditelusuri kembali saat masa demokrasi terpimpin, di bawah pemerintahan Presiden Soekarno, atau lebih tepatnya di akhir masa kepemimpinannya.

"Bank sentral saat itu diintervensi pemerintah, terutama pada masa demokrasi terpimpin, oleh Soekarno. Sehingga pada saat itu banyak keputusan atau kebijakan moneter karena di-drive oleh kepentingan dari pemerintah saat itu, dalam hal ini presiden," ujar Faisal.

Pada masa itu, kata Faisal, Indonesia harus menghadapi krisis ekonomi yang sangat buruk dan tergambar dari tingkat inflasi yang mencapai ratusan persen. Puncaknya terjadi pada tahun 1966, inflasi tembus 635,26 persen yang kemudian sering disebut hiperinflasi.

Hal tersebut akibat tidak terkontrolnya pencetakan uang, lemahnya produksi, hingga anjloknya sentimen terhadap rupiah. "Hyperinflation sampai dilakukan juga sanering, dilakukan juga redenominasi rupiah, sehingga membawa sampai ke krisis ekonomi, krisis politik juga akhirnya, sampai melengserkan presiden," tuturnya. "Nah hal ini yang kita justru ingin hindari, apalagi sudah ada ancaman resesi global juga ke depan."